Antara Kita dan Mereka, Para peantau

Antara Kita & Mereka,
Para Perantau
Oleh : Sarah Azz


Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memilikki potensi timah yang cukup menjanjikan. Bahkan, kekayaan timah yang terpendam di pulau ini sudah lama diketahui sejak zaman penjajahan, oleh para Bangsa Belanda sehingga dinamakan dengan pulau “Bangka”, berasal dari kata Banca, yang berarti timah.

Bijih timah memilikki nilai jual yang cukup tinggi di mata dunia. Cara mendapatkannya pun tak sulit , karena timah tersebar di seluruh pelosok tanah di pulau ini. Begitu pula dengan kegiatan pertambangan untuk mencari bijih ini pun “ikut-ikutan” tersebar di pelosok negeri ini.

Kita sadar dan kita tahu bahwa tak ada kegiatan pertambangan yang tidak merusak. Ya, kegiatan pertambangan itu selalu saja merusak. Mulai dari merusak lingkungan melalui limbah-limbah yang ditinggalkannya, merusak dunia pendidikan dengan banyaknya anak-anak Bangka Belitung yang putus sekolah dan salah satunya merusak moral kita secara perlahan seperti ombak di lautan yang mengikis bebatuan karang.

Keberadaan bijih timah yang begitu melimpah di pulau ini, telah tersebar luas ke seluruh pelosok negeri, bahkan dunia. Dengan begitu para investor banyak yang tertarik dan datang berbondong-bondong untuk menanamkan modalnya, para penduduk setempat pun tak mau ketinggalan untuk ikut tenggelam dalam euphoria sang bijih timah. Tak hanya mereka - para investor dan penduduk - namun para penduduk luar daerah Bangka Belitung pun datang berduyun-duyun ke Bangka untuk ikut menyicipi bagaimana manisnya bijih timah ini.

Dan masalah pun dimulai, para penduduk luar daerah pergi merantau ke Pulau Bangka untuk ikut menambang. Tapi mereka berbeda, berbeda dengan para investor yang memilikki modal uang milyaran, yang memilikki alat tambang dengan teknologi mutakhir. Yang mereka milikki hanyalah modal semangat, fisik yang normal dan stamina yang kuat serta secercah harapan bahwa hidup mereka pasti akan menjadi lebih baik dengan menambang.

Mereka tak perduli apakah mereka punya sanak saudara disana atau tidak, mereka tidak perduli nanti akan tinggal dimana, tidur dimana. Yang mereka pikirkan hanyalah mereka akan menambang timah disana, menjualnya dan lalu mendapatkan uang. Urusan hari ini pikirkan hari ini, urusan besok ya pikirkan saja besok. Begitulah prinsip mereka, para perantau ini.

Tanpa sanak saudara, para perantau ini bertempat tinggal di pondok-pondok yang didirikan di tengah hutam, di sekitar lahan pertambangan mereka sendiri. Lama kelamaan, fungsi pondok-pondok ini menjadi semakin kompleks saja, dari awalnya hanya berfungsi untuk tempat tidur, tempat berlindung dari tetes air hujan dan hembusan angin, hingga akhirnya beralih fungsi menjadi warung kopi, tempat berjudi dan bahkan ada yang menjadi tempat karaoke sebagai hiburan untuk para perantau sekaligus penambang ini.

Eksistansi pondok-pondok di tengah hutan ini tentu saja mengkhawatirkan karena dapat mengundang datangnya tindakan kriminal. Seperti penjualan minum-minuman keras, kegiatan perjudian dan bahkan praktik prostitusi terselubung yang terjadi di dalam pondok ini.

Para penduduk asli yang tinggal tak jauh dari lingkungan pertambangan pun akhirnya banyak yang merasa terganggu. Tak hanya tidur mereka yang terganggu setiap malamnya dengan suara riuh pondok itu, namun mereka juga mengaku bahwa banyak anggota keluarga mereka yang mulai ikut-ikutan terganggu moralnya, karena sering bermain ke pondok-pondok itu. Baik itu dari hal kecil seperti banyaknya anak-anak yang mulai menghisap rokok bahkan orang dewasa yang ikut-ikutan untuk bermain judi, berkaraoke dan minum minuman keras.

Fenomena ini sudah banyak terjadi pada desa-desa kecil di sekitar kabupaten dan sering diekspos oleh media setempat. Tapi entah kenapa, tak ada pihak sejauh ini yang tergerak hatinya untuk menindak lanjuti fenomena ini. Dan apabila fenomena ini dibiarkan begitu saja, mungkin saja kelak di kemudian hari kesabaran para penduduk ini akan habis dan melakukan kegiatan anarkis dengan membakar pondok-pondok tersebut yang tentu saja akan berdampak serta memicu permusuhan antar penduduk desa setempat bukan?

Tak hanya karena mengkhawatirkan dengan tindak kriminalitasnya, pendirian pondok-pondok di tengah hutan yang dilakukan secara sembarangan ini juga tak jarang telah memasukki sekaligus merusak kawasan hutan lindung dan juga hutan produksi.

Para perantau yang mendirikan tempat tinggal sementara berupa pondok-pondok ini juga secara langsung juga menciptakan iklim yang tidak kondusif di daerah kita dengan semakin banyaknya permukiman kumuh di Bangka Belitung. Sehingga dampaknya, citra Babel pun menjadi rusak menjadi daerah miskin. Padahal jika kita lihat, tidak sepenuhnya masyarakat “asli” Babel ini miskin.

Kebanyakan para perantau juga tidak tertib akan administrasi khususnya melakukan pendataan di bidang kependudukan dengan cara melapor keberadaannya serta makusd dan tujuan kedatangannya kepada kepala desa setempat. Dengan tidak ada laporan kepada kepala desa setempat, tentu saja ini dapat memperluas kesempatan untuk melakukan tindakan kriminalitas kepada mereka.

Karena dengan tidak diketahui dan terdatanya identitas seseorang secara resmi dan sah, maka apabila dia melakukan sebuah tindak kriminalitas tentu saja akan sulit untuk dilacak. Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.

Dan setelah mereka melakukan tindakan kriminalitas, dengan mudahnya mereka berpindah tempat, berpura-pura memakai nama palsu, lalu melakukan tindakan kriminalitas baru, lalu berpindah lagi, dan terus berulang-ulang tanpa takut tertangkap karena mereka tidak terdata secara resmi. Tak mengherankan apabila kebanyakan tindakan kriminal yang dilakukan di Babel ini dilakukan oleh mereka, para perantau. Sehingga menciptakan imej buruk pada perantau di Babel di mata penduduk setempat. (Sarpin, 2011).

Kita memang tidak bisa melarang para perantau ini untuk datang ke daerah kita. Apalagi mengingat Provinsi kita, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memilikki magnet yang kuat untuk para perantau dengan bijih timahnya. Ditambah lagi dengan provinsi kita merupakan salah satu tujuan dareah dari program transmigrasi.

Namun tentu saja berbagai antisipasi bisa kita lakukan untuk meminimalisir hal-hal yang tak diinginkan. Dibutuhkan peran penting dari seluruh kepala desa, kepala desa setempat tentu harus tegas dan jeli dalam menangani serta mendata setiap perantau yang datang di desa mereka.

Pemerintah juga harus bisa menertibkan atau bahkan membongkar pondok-pondok “nakal” yang berada di lingkungan pertambangan terutama yang telah memasukki kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Dan juga perlu dilakukan sosialisasi kepada para penduduk yang mendirikan pemukiman di sekitar area pertambangan timah. Bahkan perlu dikeluarkan sebuah kebijakan yang mengutamakan rakyat “asli” Babel setempat untuk mengelola kegiatan TI-TI, dengan maksud untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat Babel.

Dengan begitu, lambat laun imej buruk yang melekat di para perantau akan hilang sehingga terciptanya hidup yang saling berdampingan antara penduduk asli dan para perantau di negeri kita, negeri serumpun sebalai ini. (*)
Itu essai saya, buat yang penasaran segimana nya sih essai saya ampe-ampe bisa menang kemaren-kemaren itu . Essainya biasa aja? Ya gapapa, saya sendiri juga ga merasa essai saya sebagus-bagus itu, ga tau juga bisa menang kenapa =..=

PS. Thanks God :*

Komentar

Postingan Populer