Ulasan Film : Little Women (2019)


 

Pada adegan pertama, film ini memulai cerita dengan deskripsi betapa dinginnya sebuah perkantoran…. Dan sudah dapat ditebak, perkantoran ini adalah kantor penerbitan majalah. Seorang lelaki yang bertindak sebagai sang « pemimpin redaksi »  yang sedang menghadapi seorang anak muda pantang menyerah dan berusaha ‘menjual’ konten tulisannya (ketika menonton menit ini, saya sudah bisa menebak bahwa wanita ini adalah tokoh utama filmnya).

Si Jo, nama dari perempuan muda ini, langsung mengingatkan saya pada tipikal anak muda perkantoran jaksel yang sedang melakukan wawancara kerja : pakaian rapih, jawaban lugas singkat tapi mengena langsung ke pokok ‘jualan’, dan satu hal : senantiasa senyum meski sudah dijutekin berjuta kali oleh judesnya (calon) atasan dan kerasnya ibukota, haha. Nasihat mengenai jahatnya selera pasar pertama dari sang pimpinan redaksi telah menjadi sarapan itu oleh sang tokoh. Jangan terlalu idealis jika ingin masuk pasar konon katanya. Hahaha, klise sekali. Tapi akhirnya, sang atasan luluh dan membeli juga konten anak muda tersebut, meski dengan coretan revisi yang sangat banyak.

Cerita bergeser ke negara lain, yang dapat kita duga adalah Perancis, dimana ada tokoh wanita lainnya sedang berjuang. Berjuang terhadap rasa ‘insekuritas’ dirinya sendiri. Yang tak pernah merasa cukup dan tak pernah merasa pantas menanggung beban dan nama besar keluarga.

Panggung tetiba bergeser ke tokoh utama (yang kebetulan diperankan oleh Akrtis terkenal yakni Emma Watson) yang kebetulan juga sedang berjuang dalam membatasi keinginan dan kebutuhan dia selaku wanita muda sekaligus selaku ‘mama’ muda. Dan pada akhirnya,panggung terakhir menyelipkan sosok tokoh lainnya, wanita kecil yang sedang sibuk fokus berlatih piano. Entah karena itu hobinya atau entah karena ada tuntutan pertunjukan yang sedang ia persiapkan.

Perkenalan tiap tokoh di selama 20 menit awal film, langsung memberikan gambaran kepada saya selaku audiens : « Oh ini kenapa judul nya Little Women. Women dalam artian kata benda jamak. Artinya : Para wanita wanita yang ‘kecil’. » Tapi dugaan saya langsung meramu ramu : tentu kata sifat ‘little’ di judul yang akan diterjemahkan banyak di dalam film berdurasi 2.5 jam ini. Apakah bermakna para wanita ini adalah wanita yang berjiwa kerdil ? Atau bermakna para wanita wanita lucu dan mungil secara fisik tapi memiliki peran yang besar ? Hmmm mari kita lihat.


Memasuki durasi menit ke 60, barulah saya menyadari bahwa alur film ini adalah campuran. Kadang alur maju, kadang alur mundur. Saya sebagai audiens harus pintar pintar mengingat kerangka waktu dalam setiap adegan yang disuguhkan di dalam film ini. Entah mengapa, sepertinya faktor ‘aging’ dari wajah tiap tokoh sengaja tidak ditonjolkan oleh para tim make up artist film ini.  Setelah mengikuti menit demi menit, oh ternyata Benang merah dari para tokoh : mereka adalah saudara kandung. Empat bersaudara, puan puan semua, tanpa ada sang tuan. Bisa ditebak, layaknya isu klise para sister sister : selalu ada yang menjadi tercantik, menjadi yang terpintar, tergalak. Ah betul, isu saudara perempuan ini sama miripnya dengan film Pride and Prejudice. Tetapi tidak perlu minder, karena setiap wanita memiliki kecantikan dan daya tersendiri. Dan ya, setiap puan puan ini memiliki ‘target’ pasar tersendiri (read para lelaki pemuja).  

Berbeda dengan film klise, keluarga inti di dalam film ini tidak menghadirkan sosok ayah. Ibunda menjadi sosok paling berpengaruh terhadap kompas moral para puan puan kesayangannya. Memasuki momen ini, aku sebagai audiens langsung curiga : apa jangan jangan semangat feminisme menjadi salah satu hidden agenda yang ingin disampaikan melalui film ini ? Girls power, girls empower girls, para tokoh lelaki yang lemah dan antagonis. Hmmm perkembangan plot film ini dirasa mulai kental dan tendensius. Dan anda bisa simpulkan sendiri, apakah sepakat dengan kecurigaan saya terhadap film ini hahaha.

Ujian utama dari Jo sebagai sang tokoh utama adalah  adalah : rasa dengki dan iri. Jika ingin iri, apa daya dia saudara kandungmu. Masa kamu tidak bahagia sih ketika saudara mu mendapat kabar baik ? Laurence sebagai anak tunggal, tidak akan pernah mengerti perasaan iri, dinomor duakan yang dialami oleh para puan puan ini. Laurence tidak akan mengerti, bagaimana perjuangan Jo untuk mencintai diri nya sendiri selama ini. Karena jika bukan diri kita sendiri yang menyayangi kita ? Lantas siapa lagi ? Kegalauan Jo ini mengingatkan saya pada kutipan hadis : Jangan berharap kepada manusia, karena engkau akan kecewa, berharaplah kepada Allah, niscaya engkau tidak akan pernah kecewa.

Ya, Jo sudah terlalu sering dikecewakan oleh manusia. Dia lelah, dan dia akhirnya memutuskan untuk membahagiakan dirinya sendiri. Dia tidak memerlukan orang lain dan bantuan orang lain, untuk menjadi sumber kebahagiaan dalam kehidupannya. Apalagi konsep pernikahan. Sorry, Laury…..Konsep keluarga inti saja sudah gagal dalam memberikan definisi bahagia untuk seorang Jo, apalagi konsep pernikahan. Beberapa orang akan melihat Jo sangat egois, self sentris dan narsis. Tapi saya melihat Jo hanyalah sebagai seorang korban yang trauma akibat sering dikecewakan dan ditampar oleh kerasnya kehidupan. 

 

Intinya, film ini ingin bercerita bahwasanya setiap puan puan itu memiliki kecantikan dan daya tarik sendiri. Film ini ingin mendorong agar kita para puan tak pernah berhenti mengejar apa yang kita inginkan, tanpa perlu ada rasa iri dengki terhadap sesama puan, tanpa perlu ada rasa minder dengan kekurangan diri, dan tanpa perlu meremehkan impian puan puan lainnya.

Jika ada puan yang ingin menjadi ibu rumah tangga dan menikahi lelaki sederhana ? Ya silahkan. Jika ada puan yang ingin menjadi wanita sosialita dan menikah dengan para lelaki pengwaris harta keluarga ? Ya silahkan juga. Dan jika ada puan yang ingin menjadi seorang yang idealis, bukan pengikut selera pasar atau bahkan bermimpi membangun sekolah ? Ya silahkan juga. Intinya , sebagai seorang perempuan , sudah selayaknya kita harus saling memberdayakan satu sama lain. Tanpa perlu ada rasa menggurui, iri dengki apalagi menghakimi keinginan puan antara satu sama lain.

Kesimpulan saya, kepada para calon penonton : film ini agak mengejutkan juga bisa masuk sebagai salah satu nominasi Best Picture Oscar di tahun 2019. Untuk film bergenre drama, film ini tidak memilliki ucapan/dialog yang menarik dari antar tokoh yang dapat menggugah hati saya, apalagi untuk sekedar saya kutip di status fesbuk/wa story saya.  Patut saya duga, juri Oscar memasukan film ini sebagai salah satu bentuk formalitas saja. Formalitas memasukkan film film yang berbau « Feminis ». Apalagi kika melihat perkembangan karakter tokoh, plot twist cerita, kualitas akting, seberapa niat persiapan properti film (kostum, latar rumah), dan juga sound…..Lebih baik anda menghabiskan 2.5jam anda untuk menonton film film nominee Best Picture lainnya yang lebih bermutu.

 

 

 

Komentar

Postingan Populer